Kepingan Yang Hilang
Aku
pernah membaca sebuah quote yang menuliskan bahwa “tiap orang yang ditempatkan
dalam kehidupan kita tidak pernah ada
yang kebetulan, mereka memiliki porsinya masing-masing untuk mengajarimu
sesuatu”.
Seperti
bermain puzzle, dimana kita mengumpulkan serta menyusun kepingan-kepingan dan
ketika kepingan semua terkumpul tampaklah suatu gambar yang utuh. Bagaimana
kalau salah satu kepingan tidak kita temukan? Meskipun kita sudah menebak
gambarnya tetapi tetap saja kepingan yang hilang mengurangi keindahan gambar
itu.
Kepingan
puzzle itu seperti kamu.
Ya
kamu, salah satu kepingan puzzleku dalam gambaran hidupku.
Sebelum
bertemu denganmu, aku terus menerus mencari puzzle untuk menyusun gambaran
hidupku.
Satu
persatu datang untuk mengisi kepingan-kepingan puzzleku tapi tak satupun yang
cocok untuk melengkapi gambaranku.
Hingga
akhirnya kamu datang, melengkapi gambaran hidupku.
Me,
you, us.We’re happy.
Dimanapun
aku berada, kamu juga ada. Dimanapun kamu berada, aku juga ada. Kita tak terpisahkan
kecuali kalau kita sibuk di tempat kerja kita masing-masing.
Sampai
pada akhirnya kita memutuskan untuk
menikah, karena kita pikir dengan menikah, kita dapat selalu bersama-sama.
Kata
orang, usia kita masih muda untuk membina rumah tangga tapi kita berdua yakin
untuk berbagi dunia bersama.
Tepat
pada tanggal 09-10-2011 kita mengucapkan ikrar di depan Tuhan dan jemaatNya
untuk hidup bersama dalam suka maupun duka, untung dan malang, sehat maupun
sakit hingga maut memisahkan.
Kita
saling menyematkan cincin di jari manis tangan yang bertuliskan nama kita
berdua. Namaku di cincinmu begitu pula namamu di cincinku, pertanda kita saling
memiliki satu sama lain, dan juga pertanda bagi orang lain untuk jangan
mengganggu hubungan kita berdua.
Kita
resmi menjadi pasangan suami istri. Hal yang menjadi impian kita dan semua
orang terdekat kita.
Setahun
pernikahan, seperti pasangan muda lainnya, kita saling memamerkan kemesraan foto kita di semua
media sosial.
Dua
tahun pernikahan, kita mulai menunjukkan kebiasaan buruk kita yang dulu tak
sengaja kita sembunyikan maupun mungkin sengaja kita sembunyikan untuk menjaga
perasaan pasangan kita.
Tiga
tahun pernikahan, kita mulai mendengar bisikan-bisikan dari kerabat bahkan yang
terang-terangan yang mengatakan kepada kita berdua “Kapan nih punya momongan?”, “sengaja nunda ya biar bisa pacaran terus?”,
“coba periksa ke dokter ini dan itu…”, “jangan kecapekan ..nanti gak jadi-jadi
loh…” dan begitu banyak perhatian serta sindiran-sindiran yang membuatku
serta dia malas untuk mengikuti arisan keluarga, karena pertanyaan-pertanyaan
itu akan hadir lagi. Aku bosan. Aku muak. Begitu pun dia. Namun dia selalu
menenangkanku dengan mengacak rambutku ketika kami sudah sampai mobil, dia
bilang “Tenang aja Red, kalo kita udah
punya anak, mereka harus beliin semua kebutuhan anak kita, tak terkecuali..aku
udah ngelist koq siapa-siapa yang nanyain..rasain tuh dapat bagian..”
ekspresinya ketika mengatakan itu membuatku gemas untuk menciumnya, aku pun
tersenyum kembali serta membalasnya “yo’I
bro…kita usaha lagi yuk..! Aku pun mengganggunya dengan mengedipkan salah
satu mataku.
Aku
beruntung memilikinya. Yudha Septian Pratama, seorang pria yang bagiku tak
hanya sebagai suami, dia juga merangkap sebagai sahabatku yang selalu bisa aku
bangunkan sewaktu-waktu untuk berbagi cerita, kakak laki-lakiku yang begitu protektif
menjaga adik perempuannya, saudara perempuanku yang terkadang menemaniku untuk
menonton film korea, ia selalu setia menyediakan tissue untukku tak lupa
minuman hangat ketika ku selesai menangis karena salah satu adegan, dia juga
bisa menjadi orang tuaku untuk mengingatkanku serta menunjukkan mana yang baik
dan tidak baik untuk kulakukan, tak hanya itu ia pun bisa menjadi bayi besar
yang manja sekali kalau sedang sakit.
Empat
tahun pernikahan, akhirnya hadir pula janin dalam kandunganku. Ketika mendengar
kabar itu, ia segera memesan tiket pulang pada penerbangan pertama, padahal
saat itu dia sedang mengikuti pelatihan di luar kota.
Dengan
seragam yang masih lengkap, ia datang mengejutkanku serta memelukku dengan
erat.
Aku
tahu dia benar-benar bahagia. Bukan hanya dia tapi KAMI.
Namun
kebahagiaan kami hanya sebentar saja.
Kalau
saja aku tidak ngidam untuk makan soto kesukaanku pada hari itu.
Kalau
saja aku mendengarnya untuk menunggunya di rumah.
Kalau
saja kita tidak naik motor untuk pergi ke kedai soto langganan kami.
Kalau
saja pengendara mobil itu bukan anak remaja yang baru saja belajar mobil dan
mengebut.
Terlalu
banyak pengandaian yang sia-sia. Janinku takkan kembali. Dan suamiku mengalami trauma serta beban rasa bersalah yang berat.
Kepingan
puzzle-puzzleku pun berserakan kembali bahkan ada yang hilang.
Aku
tidak tahu bagaimana harus mencarinya kembali.
Aku
lelah dan hampir menyerah.
Setahun
berlalu.
Dan
pada hari ini Tuhan mempertemukan kami kembali.
Aku
bertemu dengannya. Di suatu situasi yang tak terduga.
Seharusnya
bukan dia yang memeriksaku saat ini tetapi teman yuniornya, karena aku
tahu pemeriksaan seperti ini bukan
bagian pekerjaannya lagi hanya sempat aku mendengar ia bilang “sudah biar aku saja yang menanyakannya, dan
tinggalkan kami berdua disini” dan
temannya hanya menimpali “sudahlah, kalian baikan saja, rugi ninggalin istri
secantik dia”.
Ia
pun masuk dan duduk di depanku. Jarak kami berdua hanya terpisah meja dengan 2
laci serta laptop yang layarnya sudah terbuka.
Wajahnya
tirus, matanya cekung dan memiliki kantung mata seperti sudah tidak tidur berhari-hari,
suaranya pun sedikit serak.
Ia
menyalamiku, dan genggaman tangannya seolah menyiratkan ia begitu ingin
memelukku.
“Sebelum saya menanyakan anda lebih lanjut,
sebaiknya anda mengatakan apa yang anda saksikan, alami dan anda dengarkan
sendiri, jika ada jawaban yang tidak anda ketahui, anda cukup bilang tidak
tahu. Mengerti?”
Ketika
berkata seperti itu, dia sama sekali tidak menatapku dan berkosentrasi pada
layar laptop didepannya.
Aku
tahu dia hanya berpura-pura menatap layar itu. Aku tahu kalau dia takut kalau
aku tahu dia benar-benar merindukanku.
Aku
pun menanggapinya dengan berkata “Iya,
lalu apa lagi?”
Dia
hanya terdiam, lalu melanjutkan pertanyaannya.
“Apakah anda sehat?”
“Iya saya sehat”. Aku sehat Yud, fisik, bukan batin.
“Apa anda tahu mengapa anda
disini saat ini?”
“Iya saya tahu”. Kalau aku tidak tahu kenapa juga aku ada
disini Yud? Ketemu kamu pun sepertinya sulit kalau tidak ada kasus ini.
Pertanyaan
demi pertanyaan pun kamu tanyakan padaku, layaknya kita tidak saling mengenal
satu sama lain dan matamu tetap tak berani menatapku.
Aku
sakit Yud. Aku merindukan tatapan itu.
Tatapan
manjamu ketika kamu sedang sakit. Aku tahu kamu sedang ingin aku manjakan.
Membuatkan sup ayam kampung kesukaanmu, minuman hangat serta membalurimu
punggungmu dengan minyak agar badanmu terasa hangat dan membuatmu tertidur
nyenyak.
Interogasi
pun berakhir dan ketika kamu sedang ijin ke toilet, aku mengeluarkan sekeping
puzzle, puzzle itu bagian dari foto pernikahan kita.
Di
puzzle itu aku sisipkan pesan pada secarik kertas “I miss u so much, tidak usah pura-pura tidak
melihatku, I know u miss me too..:) pulanglah sayang
Seminggu kemudian.
Aku
mendengar suara ketukan pada malam hari. Suara ketukan yang sudah kukenali.
Aku
membukanya dan dia ada disitu. Berdiri. Menatapku. Aku membuka lenganku dan ia
pun segera memelukku dengan erat. Ia berbisik “Maafkan aku”.
Aku
menangis bahagia.
“Red…buatin sup ayam dong…” Suara
manjanya pun keluar ketika kami selesai berpelukan.
“Kamu tuh yaa…manjanya gak ilang-ilang…”
sahutku mencubit pipinya.
“Aku sakit nih…flunya ga reda-reda..” Ia
mulai mengeluhkan sakitnya.
“Iyaa aku tahu, kamu mandi dulu gih, aku
siapin makanan dulu…”
“Gak mau…Aku mau bantu kamu siapin makanan”.
“Hmm…mulai bandel ya si bayi besar ni…kamu
mandi dulu biar enakan..kalo bandel gak aku siapin loh ya…”nadaku
mengancam.
“iya..iyaa….aku mandi…” Ia pun bergegas
ke kamar kami, dan membersihkan diri.
10
menit kemudian, kami pun makan malam bersama.
“Kayaknya kamu udah tahu deh aku bakal pulang
hari ini” komentarnya saat menambahkan porsi nasinya untuk ketiga kalinya.
“koq kamu bisa komentar gitu?” tanyaku.
“persiapan banget sih, sampe bikin sup ayam
segala..ini kan makanan kesukaanku..”
“Udah ah jangan berisik, makan aja…tambah
lagi tuh…”
Melihatmu
makan dengan lahap membuatku bahagia Yud.
Aku
tidak mau bilang kalau setiap hari aku memasakkan makanan ini untukmu.
Setiap
hari aku berharap kamu akan pulang.
Setiap
hari Yud. Dan tibalah hari ini.
“Red…duduk
sini…” ujarnya sambil tidur-tiduran di sofa ruangan tengah dan membuka channel
TV.
“Iya ntar aku nyusul, aku beresin dapur dulu..”
“jangan
lama-lama...”
“iyaa…”
Tetapi
ketika ku kembali ke ruangan tengah, ia sudah tertidur.
Tak
tega membangunkannya, aku pun mengambil selimut serta menyelimutinya.
Kuletakkan kepalanya di pangkuanku.
Aku
mengelus rambutnya, pelipisnya, alisnya dan ketika ia mulai terbangun karena
batuknya, aku hendak bangun dan mengambilkan obat, tetapi ia mengigau “jangan
pergi Red, maafkan aku, aku janji aku tidak akan pergi lagi..”
“Sssshh..iyaa.....tidur
ya….”
Aku
pun mencium keningnya dan tak lama aku pun tertidur.
Keesokan
paginya, aku sudah ada di tempat tidur dan disamping tempat tidurku, foto
perkawinan kami yang sengaja dibikin bentuk puzzle sudah utuh kembali dan ia
menyelipkan pesan di bawah frame.
“Aku
pergi ke kantor ya…aku tidak tega bangunin kamu, terima kasih untuk kepingan
puzzlenya sayang,I love you.”
Bogor,18
Mei 2016
Redya Cita Setyaningrum
Komentar
Posting Komentar