MENANTI (Chapter 10)



Chapter 10
Jejaknya masih ada
“ maafkan aku membuatmu tak suka……”
(Karena Aku T’lah Denganmu, Ari Lasso feat Ariel Tatum)

Jakarta,5 Juli 2014

Abimanyu
Seharusnya malam ini kami berdua dinner ditempat yang sudah kusiapkan dari seminggu lalu. Aku tahu dia akan suka dan aku berencana melamarnya malam ini, tapi semua hancur berantakan. Ia pergi tanpa berkata apapun sebelum aku sempat menjelaskan benda yang ia buka dari dashboard mobilku.
Benda itu adalah kotak hadiah dari Laras yang berisi album foto kami berdua dan juga beberapa contoh undangan-undangan  yang belum sempat aku bereskan dari dashboard mobilku. Kinanthi melihat itu semua. Aku harus menyelesaikan kesalahpahaman ini.
Dan aku sekarang berada disini, di depan rumahnya. Aku memberanikan diri mengetuk pintu rumahnya.
Setelah beberapa kali ketukan pintu pun terbuka dan aku melihat  dia membukanya, matanya masih sembab. Aku tahu dia terluka karena kesalahpahaman ini.

ngapain ke sini lagi?” jawabnya ketus.

“dengerin aku dulu dong..” 

“apa yang musti dijelasin lagi? Udah jelas koq….”

“boleh kita bicara di dalam?”

“males..disini aja..kenapa sih cepetan ah..” dengan tak sabaran ia ingin mengakhiri pembicaraan kami.

“kalo kamu masih marah gini, aku gak bisa jelasin..”

“ya udah gak usah..”

“enggak.aku gak mau kamu salah paham..”

“Salah paham apanya?bagiku udah jelas..”

“apanya yang jelas ah sudahlah percuma aku jelasin ke kamu sekarang kalo kamu masih emosi kayak gini, aku tunggu kamu besok pagi di bandara, aku mau jelasin semua ke kamu.”

Entah kenapa terlintas ide di kepalaku untuk mengajak Kinanthi ke Solo besok, aku ingin menjelaskan semuanya tanpa ada yang disembunyikan lagi.

hah?! Kamu mau ajak aku kemana?”

“jawabannya besok pagi, mengenai waktu keberangkatan aku kasih tahu kamu nanti..aku harap kamu datang”

“lihat besok deh..udah gitu aja yang mau diomongin?”
 
“ada lagi..”

“apa?” jawabnya tak sabar.

“Skali lagi selamat ulang tahun..maaf untuk kesalahpahaman ini..” 

“udah gitu aja?”

“iya..”

Lalu ia pun menutup pintunya dengan kasar.

Aku tahu dibalik sikap kasarnya ia hendak menyembunyikan hatinya yang terluka karena kesalahpahaman ini.
˜˜˜˜
Bandara Soekarno Hatta, 05.40 Wib

Pesawat yang akan kunaiki bersama Kinanthi akan terbang 30 menit lagi, aku tidak membawa barang banyak jadi tidak perlu check in awal. Aku menunggunya dalam ketidakpastian, berkali-kali aku menelponnya tetapi handphonenya tidak aktif. Tetapi tiba-tiba aku melihatnya dari keramaian. Ia sengaja memakai kacamata palsunya, kacamata tanpa lensa itu ia pakai bila ada alasan tertentu dan aku tahu alasannya memakainya hari ini.

“belum terlambat kan?” katanya sambil mengatur nafasnya.

“belum koq..”aku tersenyum hendak menggandeng tangannya tetapi menepisnya.

“aku datang cuma mau tau jawabannya aja..mengenai hubungan kita akan lanjut atau tidak lihat nanti..” lagi-lagi ia memasang muka juteknya.

“ya udahh…kita check in sekarang ya…”

Tak lama kemudian, kami sudah berada di pesawat, dan bersiap untuk penerbangan ke Solo. Aku melihat Kinanthi sudah setengah mengantuk, kacamatanya sudah dilepas, matanya pun terpejam, kepalanya sepertinya butuh tempat sandaran, aku hendak memberikan pundakku tetapi ia seakan tidak mau menyandarkan kepalanya di pundakku. Hingga akhirnya aku melihat dia benar-benar menderita mencari posisi tidur yang enak, hampir saja kepalanya terbentur dinding pesawat, aku pun segera memberikan tanganku untuk sandarannya dan menyandarkan pada pundakku. Awalnya  ia sedikit memberontak dan mencari posisi tidur yang nyaman untuk menyandarkan kepalanya tetapi semua itu berakhir ketika aku membisikan sesuatu padanya.

“Ssshh…marahnya dilanjutin kalo di darat, sekarang kamu tidur aja di pundakku.” 

“hhmmmhh…gak mau..gak mau…” masih dengan mata terpejam tetap saja ia masih memberontak dan menyenderkan kepalanya dekat jendela pesawat.

Aku pun  mengelus rambutnya dan agak sedikit memaksanya menyandarkan kepalanya di pundakku dengan tanganku, tak lama kemudian ia menyerah juga lalu terdengar dengkur halusnya tanda ia sudah terlelap. Harum wangi shamponya menyeruak di hidungku, wajahnya benar-benar tenang dalam tidurnya tak tampak wajah galak yang ia pasang sejak kami bertemu tadi. Oh Tuhan aku benar-benar mencintai gadis ini, jangan biarkan dia pergi meninggalkanku, apapun akan kulakukan ya Tuhan agar ia tetap bersamaku. Dengan hati-hati ku perbaiki syal yang ia bawa untuk menutup tubuhnya. Aku terjaga hingga pesawat kami mendaratkan rodanya di bandara Adi Soemarmo, Surakarta.

“Kin...kita udah nyampe nih..” Aku berbisik padanya untuk bangun, agar dia bisa bersiap-siap.

“hmm…”ia pun membuka matanya dan sedikit kaget ketika ia sadar bahwa sedari tadi ia tidur di pundakku..

“kalo mau dilanjutin marahnya silahkan..kita kan dah sampe…”ujarku menggodanya sambil membereskan barang-barang kami di kabin. Ia pun mulai memasang tampang juteknya lagi. 

Tiba-tiba ada seorang penumpang, ibu-ibu berumuran 50an menghampiri kami.

“Wahh…mbak beruntung loh kalo dapat mas ini, dari tadi masnya gak tidur jagain mba..pegel gak mas tangannya?” 

“haha ibu bisa aja..saya gak apa-apa koq..yang penting dia bisa tidur saya sudah senang..” jawabku sambil meliriknya. Wajahnya benar-benar lucu antara malu, marah dan jengkel.

“wah ibu  jadi iri sama kalian, ya udah rukun-rukun aja ya, ibu doakan kalian berdua langgeng sampai akhirat.

“Makasih ya bu doanya…Amin…” aku  pun memandang Kinanthi yang langsung sok sibuk mengambil barang di kabin/
˜˜˜˜
Kinanthi

Lagi-lagi aku selalu berada di suatu tempat yang tak kuinginkan tetapi disinilah aku. Seperti de javu aku pernah mengalami kejadian seperti ini lagi disaat pikiran dan langkahku tidak sinkron dengan hatiku. Semalam aku menyalakan alarm supaya aku tidak terlambat bangun ke bandara.

Jujur saja aku merasa kesal dengan Abi yang belum menceritakan semua tentangnya padaku, padahal aku sudah menceritakan segalanya mengenai masa laluku hingga aku melihat kotak album foto yang dihadiahkan seseorang yang spesial bahkan undangan-undangan itu, maksudnya apa??!
Hampir saja aku tidak mau ikut dengannya ke Solo tapi selalu saja pikiran dan apa yang kulakukan tidak pernah selaras.

Dan disinilah kami, saling diam sejak menaiki taksi ini. Sempat aku merasa malu karena sepanjang perjalanan di pesawat aku tidur bersandar di pundaknya, sebelumnya aku memang menolak bersandar  padanya namun kepalaku selalu terbentur dengan jendela pesawat yang membuatku terbangun, ia pun membujukku untuk bersandar di pundaknya dan lucunya ia bilang aku boleh marah kalo sudah sampai, karena aku sangat mengantuk parah aku seperti terhipnotis dengan kata-katanya maka bersandarlah aku. Mencium aroma parfumnya dan tangannya yang sesekali membelai rambutku serta ia berusaha tidak bergerak membuat aku tertidur dengan pulas.

Taksi pun berbelok ke sebuah rumah yang asri. Setelah membayar taksi aku dan Abi pun turun.
Tampak seorang ibu-ibu berdiri di taman sedang menyiram tanaman dan dengan ekspresinya ia sepertinya terkejut dengan kedatangan kami berdua.

“Ya ampun le…koq gak bilang-bilang Ibu sih kalo kamu dateng..tau gitu tadi pas Mbok Mar datang ke sini Ibu pesenin nasi liwet agak banyak……Parman..Lasmi…..! ayo bantu mas Abi..”

“gak usah bu..barang-barang kami gak banyak…” Abi pun mencium tangan ibu begitu pula aku.

“loh…iki tho sing jenenge Kinanthi? Waah ayu men tho nduk..” Aku pun tersenyum dipuji demikian tulus oleh seorang Ibu yang ku kira beliau itu galak.

“nggih bu…saya Kinanthi…”

“Wah..si Abi sering cerita tentang kamu loh nduk…iya tho Le..?” goda beliau sambil melirik anak laki-lakinya.

“wis bu..ngobrolnya didalem yo..aku laper…mana Kin barang-barangmu…” dengan sigap dia pun mengambil barang-barangku dan membawanya ke dalam, aku pun tidak bisa mengelak lagi.

“si Abi ki kalo udah ketemu Ibu..manjanya langsung keluar nak Kinan…jadi ojo kaget yoo..” Sambil menggandeng tanganku kami pun masuk rumah.

“Nah nak Kinan..sementara tidur di kamar depan ya…taruh aja barang-barangnya nanti diberesin sama bik Lasmi, si Abi gak bilang-bilang Ibu kalo mau dateng jadinya kamar masih kotor..mboten nopo-nopo tho?”

“mboten bu..matur nuwun ya Bu..” 

“Ya wes sekarang bersih-bersih aja dulu, ibu tak ke dapur dulu siapin sarapan..”

Tiba-tiba terdengar suara Abi dari kamar dan ia pun keluar dengan rambut basah serta sudah berganti baju.

“gak usah repot bu, Kinan bersih-bersih  dulu aja, kita berdua mau makan diluar ..”

“lah kenapa? Ibu tinggal manasin soto aja koq, tadi bu Minah mampir sini bawa soto.tinggal dipanasin aja.”

“wis bu..aku mau ngajak Kinan muter-muter kota Solo..”

"oo ya weslah..”

“Hmm ya sudahlah..bu…Kinan ke kamar dulu ya…” Aku pamit undur diri.

Selagi aku bersiap-siap di kamar setelah mandi, sayup-sayup aku mendengar suara Ibu dan Abi mengobrol di teras yang dekat dengan kamarku.

“piye le..koq tiba-tiba datang ke sini gak bilang ibu? Biasane kamu gak gitu..”

“Abi kemarin bertengkar dengan Kinan bu…”

“Lah bertengkar opo tho? Memangnya gak bisa diomongin baik-baik?”

“Kinan salah paham sama Abi bu..karena nemu kadonya Laras di mobil Abi..”

“ya ampun Le..koq bisa-bisanya kamu masih simpen barangnya dia? Dia kan ……….”

Terdengar sesenggukan Ibunya Abi yang membuatku penasaran dengan sosok Laras yang tadi disebutkan di obrolan mereka.

Aku pun keluar kamar dan menuju teras. Tampak Abi menenangkan ibunya yang menangis sesenggukan. Mereka pun kaget dengan kedatanganku.

“Ibu kenapa nangis?” Aku pun berjongkok menyeka air matanya. Ibu pun memelukku dan aku merasakan pundaknya naik turun karena ia melanjutkan tangisannya.

“Wis bu..nanti Kinan bingung…” Abi pun menarik ibunya dari pelukanku serta membawa ibunya kekamar

“Kamu tunggu sebentar disini ya…aku nenangin ibu dulu di dalam..”

“Kita gak usah pergi aja ya…kasian Ibu kamu masak kita tinggal?”

“Gak apa-apa ntar lagi ibu baikan koq..tunggu bentar aja..”. Aku pun menurutinya untuk menunggu di luar.

˜˜˜˜
“Namanya Laras Kin…” Abi pun membuka percakapan setelah kami terdiam sejak kami menikmati sarapan kami di soto langganan Abi.

“hmmm…” aku pun menatapnya setelah dari tadi aku melihat pemandangan dari kaca mobil.

“gadis yang memberi aku kado album foto yang kamu temuin di dashboard mobilku kemarin..”

Aku pun tetap terdiam karena sepertinya ia akan bercerita panjang.

“Aku dan Laras menjalani hubungan semenjak kami masih SMA, kami pun melanjutkan kuliah di fakultas yang berbeda tetapi tetap satu universitas yang sama, hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Laras itu tipe pemimpi serta selalu merencanakan sesuatu jauh-jauh hari salah satunya ia merancang gaun pengantinnya sejak ia masih duduk di bangku SMP, ia pula yang memesan gedung untuk resepsi, bentuk undangan serta teman-teman yang ingin ia undang ke pesta pernikahan kami. Ia menginginkan pesta yang sederhana dan penuh kekeluargaan, sayangnya semua itu tidak menjadi kenyataan…”

Cerita mengenai Laras pun kami hentikan sejenak karena Abi menepikan mobil di lokasi pemakaman yang asri dan bersih, tak seperti tempat pemakaman-pemakaman lainnya yang agak berantakan.

Aku bingung kenapa kami sampai di tempat ini, namun aku tetap saja diam serta mengikuti langkah Abi. Hingga akhirnya kami sampai di salah satu pemakaman yang sepertinya tak pernah absen untuk dirawat. Melihat nama di nisan itu membuatku kaget.
Rest in Peace
Larasati Intan Permana
Lahir : Solo, 3 Februari 1982
Wafat: Solo, 24 Oktober 2009

“Disinilah tempat peristirahatannya terakhir Kin…ia meninggal dalam suatu kecelakaan mobil, waktu itu setelah ia selesai mengajar di rumah salah satu siswanya, ia menelponku untuk menjemputnya tetapi karena aku  masih rapat dengan teman kantor yang tak bisa aku tinggal maka ia pun naik ojek, dan terjadilah kecelakaan itu ada mobil yang melaju kencang hingga menabrak motor yang ditumpangi Laras. Aku merasa bersalah banget Kin..coba kalo aku bisa menjemputnya..pasti……” Abi pun tak bisa meneruskan kata-katanya, tampak dari raut mukanya ia benar-benar merasa kehilangan Laras, aku pun memakluminya karena kalau aku di posisinya saat itu, entah apakah aku bisa setegar dia atau tidak.

“Kin..kamu gak apa-apa aku tinggal bentar? Aku mau beli minum dekat situ sekalian beli bunga rampai, aku lupa beli tadi.”

“Gak papa koq..aku tunggu sini aja…”

“ok..”

Selagi menunggu Abi membeli minuman, aku pun mengamati baik-baik foto Laras yang ada di nisan, fotonya berbeda dari yang biasa aku lihat di nisan-nisan,  fotonya seperti lukisan sketsa yang ada di lukisan. Semakin lama aku melihat fotonya, aku pun merasa familiar dengan sosok Laras, sepertinya aku pernah melihat dia tapi dimana ya? Ah gak mungkin dia kan udah meninggal lama…tapi…………………….ah jangan bilang….aku jadi teringat sesuatu yang aku alami beberapa bulan lalu. Aku pun bergidik ngeri.

Dorrr…
“aaarhhh…” aku pun berteriak kencang saking kagetnya dan melonjak memeluk Abi..”

“aduhh…kamu kenapa sih..baru ditinggal sebentar..” Abi pun menenangkanku.

Tapi aku malah mempererat pelukanku.

“Bi..kita pulang sekarang yuk…” 

“iya ntar lagi..aku taruh bunga ini dulu…duh kamu lepasin dulu dong Kin..”

Aku pun melepaskan pelukanku serta ikut menaburkan bunga di makam.

Sesampainya di mobil, aku masih terdiam karena sepertinya sosok Laras itulah yang pernah aku temui di bus Trans Jakarta dulu ketika pertama kali aku bertemu Abi.

“Kamu kenapa Kin dari tadi diam terus? Hati-hati ntar kesambet loh..”

“hmm..gak apa-apa…Bi..besok pagi aku mau pulang…”

“loh kenapa? Aku belum jelasin semua ke kamu..”

“udah gak apa-apa aku cuma mau pulang…kita beli tiket sekarang ya..”

“kamu masih marah sama aku karena baru cerita sekarang?”

“enggak..bukan itu..aku belum bisa cerita …”

“ya udahlah kalo itu mau kamu…aku gak bisa maksa, aku udah seneng kamu udah mau kesini..”

“iya…oya satu lagi permintaanku Bi..”      
         
“apa?”

“ntar malam aku boleh tidur sama Ibu kamu?”

“oohh iya gak apa-apa..ibuku justru seneng..karena tadi beliau sempat bilang ke aku kalo kamu mau kamu bisa tidur sama beliau cuma tadi kan aku gak enak sama kamu..kamu baru kenal ibuku..”

“gak papa koq..ibumu baik..aku jadi kangen mamiku…”


˜˜˜˜
“Nak Kinanthi…”

“iya bu..” 

“kamu udah tidur nak?”

“belum bu..” aku pun membalikkan tubuhku menghadap ibu yang sepertinya belum bisa tidur.

“kamu gimana sama anak Ibu..hubungan kalian udah serius?”

“ooh..sejauh ini serius sih bu..cuma memang Kinan akui Abi itu sabar banget orangnya..”

“kalo pertengkaran kan emang wajar  nduk....Ibu cuma bilang sama nak Kinan..klo ibu merestui kalian berdua..yah kalo Tuhan berkenan nak Kinan bisa jadi mantu Ibu..dan ibu gak perlu pusing mikirin Abi kalo dia udah di luar negri…”

“luar negri?maksud ibu apa ya?”

“loh si Abi belum cerita?”

“cerita apa bu? Saya belum pernah dengar dia mau ke luar negri..”

“Dia dapat beasiswa untuk lanjutin S2 nya ke Belanda…kayaknya sekitar 2 tahun  dia bakal disana..masak nak Kinanthi belum dikasih tahu?”

“Belum bu…”

“mungkin dia baru cerita besok..udah kamu tenang aja…oya tentang Laras….”

“sudah bu..Abi udah cerita semua ke saya, saya jadinya ngerti Ibu tadi nangis tadi pagi di teras..”

“Iya nak Kinan..Laras itu udah ibu anggap anak sendiri, ibunya dia sama ibu teman akrab di Paduan Suara gereja..waktu dapat berita dia udah gak ada, ibu ikut terpukul tapi Ibu harus nguatin Abi karena rasa bersalahnya gak bisa jemput Laras malam itu cuma kita kan manusia nak, kita gak tahu maksud Tuhan..mungkin sudah jalannya seperti itu, saking terpukulnya Abi dia pun mutusin untuk pindah ke Jakarta. Dia juga sepertinya gak tertarik untuk membuka hubungannya dengan wanita padahal dia sering cerita banyak teman seumurannya sudah menikah cuma mungkin karena dia masih keingat Laras dia belum bisa buka hati untuk orang lain.

Sampe akhirnya dia cerita ke Ibu, kalo sekarang dia udah buka hati lagi setelah sekian lama ia menutup hati…dan orang itu kamu nak..Ibu terima kasih bangeet kamu bisa hadir di hidup Abi.

 “iya bu..”

“kayaknya kamu udah ngantuk ya nak..ya wes tidur sekarang yuk..”

“iya bu..selamat malam..”

Ucapan Ibu tadi membuatku tak bisa tidur, banyak cerita dan kejutan yang aku alami selama aku dan Abi bersama. Kilasan masalah satu persatu hadir di pikiranku..

Apa aku bisa membahagiakan Abi seperti Laras? Karena jejak Laras masih ada. Melekat.

Lalu  Belanda?

2 tahun?

Dan bagaimana dengan hubungan kami? Lagi-lagi aku diperhadapkan dengan situasi yang tak ku kehendaki.

Ya Tuhan aku benar-benar bingung…


















                                   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dear Bantal Kesayangan (24)

Pemeran Utama (8)

Proses Peremukan