Leburan Kenangan (terakhir)

Jangan berhenti mencintaiku, meski mentari berhenti bersinar
Jangan berubah sedikitpun, di dalam cintamu ku temukan bahagia (Jangan Berhenti Mencintaiku, Titi DJ)


 

Setelah tersenyum ia pun menghembuskan nafasnya, merapatkan jaket kulitnya lalu memandang ke arah  lautan. Kami sama-sama terdiam dalam lamunan kami masing-masing. 

“Lupakan aku Lis..”  Tiba-tiba ia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut dengan perkataan yang ia katakan barusan. Apakah aku salah dengar?


“hah? Kamu bilang apa tadi?” Aku ingin mendengar perkataannya sekali lagi.
Dengan raut muka yang tenang, Ia pun menghadapkan wajahnya ke wajahku, memegang kedua pipiku dengan kedua tangannya, matanya yang teduh pun meneduhkanku dengan tatapannya. 


Perasaanku pun bercampur aduk karena ia pernah melakukan hal yang sama kepadaku ketika kami bersama dulu.


Waktu itu dia terlambat datang dari waktu janjian kami karena kesibukannya dan saat itu aku sedang kelaparan akut. Hingga akhirnya ia datang, meminta maaf karena keterlambatannya, dan mengajakku makan tetapi aku berbohong kalau aku tidak lapar. Aku menutupinya dengan bercerita panjang lebar tentang keadaan kantor, raut mukaku kubuat seceria mungkin agar ia tak khawatir. Namun akhirnya kebohonganku terbongkar, ia hanya terdiam tak menanggapi ceritaku, menepikan mobilnya, ia pun tersenyum serta menangkupkan kedua tangannya diwajahku dan menatapku seperti yang ia lakukan sekarang. Dengan perkataan yang lembut ia bilang: 


 “Sudah ceritanya? dengar ya sayang.. Ceritamu itu takkan bisa menutupi bunyi cacing di perutmu yang kelaparan dan wajahmu yang pucat, kita makan di tempat biasa ya..masih bisa tahan kan? Aku minta maaf ya aku terlambat, aku janji gak akan terlambat lagi dan membuatmu kelaparan seperti ini lagi”


Tunggu..tunggu..maksudnya dia melakukan hal ini. Jangan bilang dia…….

“Kamu mau bilang apa?” mataku pun mencoba menantang matanya untuk menutupi kebohongan hatiku.


“Lupakan aku Lis, tidak seharusnya kamu masih mengingat aku..”


“Siapa yang bilang aku masih ingat kamu?”

Aku pun melepaskan tangannya dari wajahku serta mengambil jarak darinya.

“Aku bisa lihat dari matamu, sudahlah Lis tidak ada gunanya kamu berbohong, aku sudah tahu semuanya, kamu tahu kan kalau kamu tidak pernah bisa membohongiku..tak pernah bisa..dan aku yakin kamu tahu itu.Aku tahu kamu sudah lama di tempat ini, meskipun bibirmu tadi mengatakan kamu baru 10 menit disini tapi tanganmu yang dingin tak bisa membohongiku.

Aku pun terdiam, mataku mulai berkaca-kaca karena ucapan yang ia katakan memang benar adanya.


“Robin pria yang baik Lis, aku yakin kamu tahu itu”


“Iya aku tahu Sell, aku tahu.., aku minta maaf Sell untuk semua yang aku lakukan dulu, aku benar-benar minta maaf aku ninggalin kamu dan menikah dengannya, perasaan bersalah pada kalian membayangi kehidupanku Sell, aku benar-benar tidak tahan”
Tanpa terasa air mataku pun jatuh perlahan. Pertahanan emosi sudah mulai runtuh.


“Kamu gak perlu merasa bersalah padaku Lis, aku sadar pada masa itu perbedaan kita begitu jauh, keluargamu ingin kamu menikah dengan pria yang mapan dan mampu memberi kepastian untuk masa depanmu, aku tahu disaat itu aku belum bisa memberikan itu semua tetapi Robin mampu memberikannya padamu”. 

“Maafin aku Sell…”


“Iya Lis, hidup masih terus berjalan dan aku ingin kita berdua melanjutkannya dengan jalan kita masing-masing, kamu janji ya Lis kamu harus bahagia. Robin benar-benar mencintaimu, aku yakin itu."


"Aku tahu koq Sel..iya aku janji, aku harap kamu juga"
“Pastilah, eh iya dengar-dengar kamu udah punya anak perempuan ya? Pasti cantik kayak kamu..”


“Iya, namanya Michelle" 

“Bundaaaaaaaaaaaaaaaaa…………………..!”

Sesosok gadis kecil berlari kearahku dan memelukku dengan tangan kecilnya.

“Lho kamu koq sendiri, Ayah mana??” 

“Ituuuuu...” Gadis kecilku pun gantian berlari ke arah Ayahnya.

Robin pun menangkap, memeluk dan menggendong Michelle dan berjalan pelan kearah kami berdua.

“Gimana nih nostalgianya…pa kabar Sell?” Robin pun mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Marsell.


Marsell pun membalas jabatan tangan Robin dengan erat.

“hahaha…baik koq bro…wah udah jadi bapak ni..gaya udah beda yaa…haha”


“Iya nih..eh Michelle, kenalin ni om Marsell…temannya Ayah dan Bunda, mana tangannya sayang..” 

“Michelle..” Anakku pun menyebutkan namanya tak lupa memberikan tangan kanannya.

“Nah gitu dong.. pintarnya anak Ayah..”

“koq anak Ayah doang? Bunda juga dong…” Aku pun pura-pura marah.

“Hahhaa iyaa Bunda juga..” Robin pun menggandeng tanganku dan mencium keningku.

“Ah kalian bikin aku ngiri aja…”

“hahaa..makanya cari istri dong bro..”

“haahha..…..sialan iyaa..iya..…..”

Tawa canda kami sore ini benar-benar membuatku bahagia dan entah kenapa aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Aku merasa bebanku selama bertahun-tahun sudah terlepas. Perasaan bersalahku pada Robin pun  pupus sudah berganti rasa sayang yang takkan aku tukar dengan apapun. 
Tujuanku untuk kembali ke kota ini dan mengunjungi tempat ini tercapai sudah.
Kenangan yang kubawa serta lukisan hatiku sudah kuleburkan di lautan ini menyatu bersama ombak.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dear Bantal Kesayangan (24)

Pemeran Utama (8)

Proses Peremukan