LDR
Jarak..
Waktu…
Rindu…
Ketiga
kata tersebut adalah deskripsi dari hubungan jarak jauh yang sedang kujalani
bersamanya.
Seorang
pria yang setiap kali aku bertemu dengannya membuatku bersyukur dan beruntung
aku memilikinya.
Dia
Rivano. Seorang pria berambut cepak, berhidung mancung, kulitnya terang dan yang
membuatku selalu rindu adalah suaranya yang sedikit berat dan serak.
Dia
pria yang tak kuduga kedatangannya dalam hidupku.
Dia
datang …ketika aku sudah mulai bosan dengan nasehat serta kata-kata bijak
mengenai pasangan hidup dari keluarga, serta teman-temanku.
Dia
datang…ketika aku juga sudah mulai jenuh dengan hubungan flirtationship dengan
pria-pria itu, yang ujung-ujungnya mereka kabur dengan alasan yang klise
yakni minder dengan gelar pendidikanku yang tinggi serta nama keluargaku
yang cukup terpandang.
Dia
datang….ketika aku sudah mulai menutup hatiku perlahan dan bertekad untuk
membangun karirku tanpa perlu memikirkan soal percintaan.
Dia
datang dan mematahkan semua pandanganku, bahwa jangan menilai orang dari
penampilannya. Ah..aku jadi teringat pada salah satu ayat di Alkitab yang
berbunyi bahwa manusia melihat rupa tetapi Tuhan melihat hati.
Kau
tahu bagaimana aku bertemu dengannya?
Pertemuanku
dengannya berawal ketika ia datang ke kantor untuk membantu temannya membuat
akta, dan karena aku masih pegawai baru, aku menolak untuk membuatnya jadi ku
minta tolong temankulah yang mengerjakannya.
Sekali….Dua
kali…Tiga kali…ia datang untuk menemani orang membuat akta tapi aku tak terlalu
memperhatikannya.
Dan
pada suatu waktu ketika aku dan teman-temanku sedang makan siang bersama, entah
kenapa salah satu temanku nyeletuk “Ci, kamu lagi dekat sama siapa sekarang?”
Aku
pun menghentikan sejenak suapanku dan melihatnya dengan heran.
“gak
ada..kenapa?”
“Mau
aku kenalin sama Ivan gak?”
“Ivan?”
aku mengernyitkan dahiku sepertinya aku pernah mendengar nama itu.
“Iya
Ivan.., klien yang biasa datang ke kantor kita..ah masak kamu gak inget?”
“oohh
maksud kamu..Rivano Geryan .?”
“Yup…betul..tuh
kamu hapal namanya..”
“Yee…gak
juga, tapi gak sengaja kerekam aja dalam pikiranku, kan dia sering buat akta
jadi pastilah aku inget…”
“Nah
terus..gimana? Mau gak?”
“Ogah
ah..gak kenal aku..”
“Hishh..makanya
aku kenalin neng…gimana? Serius ni aku..”
“Hmmm..males
ah..dia kayak badboy gitu…”
“Nahhh
ini ni …mulai deh kebiasaan buruk..belum kenal udah ngejudge orang gak
bener…makanya kenalan dulu…menurutku dia baik koq…makanya aku mau kenalin
kalian berdua..tapi kalo kamu gak mau, aku juga gak maksain…”
“Hmm…gak
dehh Ri..”
“Baiklah…tapi
kalo kamu berubah pikiran, let me know ya..”
“Okay..”
Pembicaraan aku dan Riri pun berakhir begitu
saja, dan pada suatu sore ketika aku sedang bersiap-siap pulang kantor, ia pun
datang, kali ini ia datang sendirian.
“Sore…udah
jam pulangkah?” tanyanya sambil celingukan mencari teman kantorku yang lain.
“Iya
nih….bagaimana? ada yang bisa saya bantu?” tanyaku menawarkan diri membantunya
padahal niat hati ingin segera pulang.
Ia pun memberitahukan akta yang ia maksud dan
meminta tolong agar keesokan hari sudah bisa mengambilnya.
“Ibu
Fian udah pulangkah?”
“Iya..udah
pulang dari tadi..kenapa?”
“Duh
padahal saya mau buat akta seperti ini..” ia pun menunjukkan akta yang
dimaksud.
“Aduh…kalau
bikin akta itu makan waktu banyak nih…” jawabku sambil mengeluh
“Tapi
bisa kan, aduh saya minta tolong banget besok saya harus berangkat ke luar kota
untuk bawa akta ini..”
Ia
pun memasang tampang memelas dan membujukku untuk membuatkan akta tersebut sore
itu juga.
Melihat
wajahnya aku pun tersenyum dan tak tega untuk menolaknya.
Sehingga
pada sore itu aku pun terduduk kembali di depan laptop dan mulai mengetik. Ia
pun duduk disamping menemaniku sambil
aku menanyakan beberapa pertanyaan untuk pengisian data akta.
Setengah
jam kemudian pembuatan akta pun selesai sudah, dan kau tahu apa yang terjadi
selama aku mengetik akta untuknya?
Dadaku
berdegup kencang, dan selama aku menanyakan beberapa pertanyaan, aku mulai
mengetahui sisi lain darinya.
Aku
mulai terkesan dengan cara pandangnya, cara bertuturnya, serta gaya humornya
yang mampu memecahkan kekakuan diantara kami. Yang membuat sore itu menjadi
momen takkan terlupakan ketika aku mulai menuliskan namanya dan melihat id
cardnya, ternyata ia mempunyai beberapa gelar di belakang namanya dan yang
membuatku terkejut ia mempunyai pekerjaan yang menginspirasi orang lain. Aku
benar-benar tertipu dengan penampilannya yang sederhana dan cuek.
Setelah
menyelesaikan aktanya, ia pun menawarkan untuk pulang bersamanya. Awalnya aku
sedikit ragu, tapi karena malam sudah menyambut kami, aku pun mengiyakannya.
Mengingat
kembali pertemuan kami dulu membuatku tersiksa dengan perasaan rindu ini.
Sudah
beberapa minggu ini ia belum mengunjungiku karena pekerjaannya belum bisa ia
tinggalkan. Banyak orang yang membutuhkannya. Mungkin dia lupa, kalau aku juga
membutuhkannya.
Kau tahu apa yang membuat LDR
begitu menyiksa?
Ketika
kekasihmu sedang sibuk dan tak sempat menyapamu melalui telpon, even just say
“Hi morning, my dear..”
Kau tahu apa yang membuat LDR
begitu menyiksa?
Ketika
kamu sedang ditengah keramaian, tapi kamu merasakan kesepian karena tak ada
genggaman tangan yang menghangatkan jemarimu.
Kau tahu apa yang membuat LDR
begitu menyiksa?
Ketika
kamu sedang badmood dan tak ada orang yang bisa kamu peluk untuk melegakan
hatimu.
Kau tahu apa yang membuat LDR
begitu menyiksa?
Ketika
kamu sedang sakit tetapi kamu harus menghadapinya sendirian.
Seperti
saat sekarang, aku merasakan panas tubuhku seperti hendak meledak rasanya.
Badanku berkeringat dan aku pun merasa lemas untuk bangun dari tempat tidur,
bahkan untuk mengambil air pun aku harus berjuang untuk mengambilnya sendiri.
Aku
sengaja tidak memberitahunya ketika ia menelponku, bahwa aku sakit, walaupun
dia curiga dengan nada suaraku yang tidak seceria seperti biasanya.
“Sayang..suaramu
koq lemes gitu? Kamu sakit ya?”
“Hmm..gak
koq…capek aja…kapan nih bisa kesini…kangen tau..”
“duh
belum pasti..minggu depan mungkin…”
“Oh..”
“koq
oh doang?”
“terus
kamu maunya aku bilang apa? Aku kan gak bisa maksain juga..”
“yahh..mulai
deh ngambek..”
“idih…siapa
yang ngambek..udah ah aku capek..bye…”
“eh..eh…jangan…”
Sambungan
telpon pun aku putuskan sesegera mungkin sebelum aku pingsan.
Aku
pun menguatkan diriku untuk berganti baju karena bajuku basah karena keringat,
menyiapkan kompres sendiri serta meminum obat penurun panas.
Aku
memang tidak memberitahukan orang tuaku kalau aku sakit, karena aku takut
mereka khawatir. Aku hanya berkata aku baik-baik saja.
Beberapa
menit kemudian, aku mulai merasa ngantuk karena pengaruh obat dan menyiapkan
diri untuk tidur.
Beberapa
jam kemudian, antara alam bawah sadar dan sadar, aku mendengar ada yang
mengetuk pintu rumahku.
Perasaan
takut dan panik menyergapku, selain itu pula kakiku terlalu lemas untuk
berdiri.
“Ciara….!..”
“Ciara…!”
Hah?
Jam berapa ini? Gak mungkin kan itu dia?
Dengan setengah sadar, aku meraba-raba mencari hape untuk melihat jam.
Jam
pun menunjukkan pukul 02.30 AM.
Dengan
tertatih aku bangun dari tempat tidur dan berpegangan para barang-barang
disekitarku.
Sesampainya
di ruang tamu, aku pun meyakinkan diriku kembali kalo aku tidak bermimpi.
“Siapa
sih…”
“Ciara…buka
pintunya dong sayang..ini aku Ivan…”
Tapi
aku masih tak percaya dengan pendengaranku dan aku mengintip di jendela.
Ah
itu benar dia.
Segera
kubukakan pintu.
Ketika
melihatku, ia pun langsung memelukku dengan erat.
“Aku
tahu kamu gak lagi baik-baik aja..maafin aku ya..”
“Iya…gak
papa…yang penting kamu udah disini,I’m okay..”
Sebelum
mendengar jawabannya lagi, aku merasa badanku lemas, pandanganku pun mengabur
dan tiba-tiba semuanya gelap.
Komentar
Posting Komentar