Aku Pergi (Bukan Alika)


https://www.colourbox.com/preview/11857287-tourist-woman-legs-waiting-with-a-suit-case-in-an-airport.jpg

Sebelum aku menceritakan kisahku, baiklah terlebih dahulu kalian mengenalku terlebih dahulu supaya kalian tidak mengira kalau kisahku sengaja dimirip-miripin dengan kisah dalam lagu ‘Aku Pergi’nya Alika.

Namaku Stella, inget ya S T E L L A beda banget kan pengejaan hurufnya dengan A L I K A.

Kalau dari ciri fisik sih rambutku memang panjang seperti Alika, suaraku juga bagus koq kalo nyanyi, yah sejauh ini gak malu-maluin lha ya kalo disuruh nyanyi mendadak ke depan panggung kalau ada acara pesta pernikahan atau acara apa pun itu yang penting ada mike dan ada yang bisa mengiringiku bernyanyi yah aku PD aja  kalau dibandingkan  Alika, aku memang belum ada kesempatan aja masuk dapur rekaman.  Beda dengan Alika yang berlatih vocal dengan pelatih vocal ternama, aku sering berlatih bernyanyi di ruang karaoke bersama teman-temanku, saking ngebetnya jadi penyanyi aku bisa bernyanyi 3 jam nonstop dan sering aku menguasai mike untuk 2 sampai 3 lagu berturut-turut bahkan untuk lagu favoritku aku bisa menyanyikan lagu yang sama berkali-kali sampai temanku gemas dan kapok mengajakku karaoke bersamanya lagi..hahahaha….ya maaaaapppp...

Dari warna kulit tentu saja kami berbeda, Alika berkulit kuning langsat, dan aku berkulit coklat eksotis, yah namanya juga beda latar belakang keluarga. Ah tapi itu tidak penting, aku begitu bangga dengan kulitku. Aku bisa pergi kemana saja tanpa takut belang/gosong, bahkan banyak yang memujiku kalau aku itu cantik khas Indonesia Timur… (gak perlu percaya gak apa-apa koq..tapi yang saya katakan itu benar adanya..iya bener…)


Tetapi dari persamaan kisah hidup, kisahku memang mirip dengan tokoh  utama (Alika) dalam lagu Aku Pergi.
Beberapa tahun lalu aku memutuskan untuk berhenti bekerja di salah satu kantor Notaris ternama dan hendak bekerja di ibukota. Keputusanku untuk berhenti bukan karena aku tidak nyaman dengan suasana kantor tetapi aku ingin menantang diriku sendiri untuk keluar dari zona nyaman. Aku akui zona nyaman seringkali membuat kita susah untuk maju, oleh karena itu aku hendak mencari pekerjaan yang membuat aku tertantang menggali potensi dalam diriku. Pikirku, aku masih muda, aku punya banyak kesempatan untuk meraih cita-cita, aku ingin melanjutkan studyku, aku ingin punya kehidupan yang lebih baik, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Sayangnya niatku itu ditentang oleh keluargaku juga teman-teman kantorku, mereka bilang kalau niatku itu tidak akan berhasil, mereka menakuti nakutiku kalau aku akan hidup susah di ibukota. Aku tahu mereka mengatakan itu bukan karena mereka tidak sayang padaku, tetapi mereka tidak mau terpisah dariku.

Banyak hal yang aku alami bersama teman-teman di kantorku, baik hal menyedihkan maupun menyenangkan. 

Kami pernah menangis bersama……….

Kami pernah tertawa bersama…

Kami bercanda bersama..

Kena marah dari pimpinan pun sering kami alami bersama…

Tak jarang juga berselisih paham dengan mereka. Kami bertengkar tapi tak lama kami berbaikan kembali dengan sendirinya.

Hunting tempat makan baru..

Berfoto bersama menjadi rutinitas setiap pagi sebelum melakukan aktifitas kantor.

Berbelanja baju, sepatu bahkan nyalon bersama menjadi agenda kami ketika hendak pergi menghadiri acara penting.

Semua kenangan-kenangan itu berkelebat dalam pikiranku ketika aku sudah berada di dalam pesawat pada saat kepergianku. Aku sengaja tidak menunjukkan kesedihanku berpisah dengan mereka ketika kami masih berfoto bersama di terminal bandara, namun tangisku mulai pecah ketika roda pesawat sudah tak terasa di daratan. Aku menangis diam-diam melihat jendela. Tetapi ya sudahlah mau bagaimana lagi, ini memang keputusanku untuk berpisah sementara dari mereka demi masa depanku. Aku meyakinkan diriku bahwa aku harus membuktikan pada mereka kalau aku harus berhasil dan sukses dalam pekerjaanku.
Sesampai di Jakarta, aku mulai melamar di berbagai perusahaan.

Panas..

Capek…

Ditolak sana sini…

Dipandang rendah..

Hingga akhirnya aku sampai di tahap ini aku adalah Stella yang sekarang menjabat sebagai Executive Manager pada salah satu perusahaan terkenal di Ibukota. 


“Sayang…?”  suara Denis mengagetkanku dari lamunanku ketika ku sedang menatap layar facebookku sambil mengingat masa-masa dulu.
“Eh iya kenapa?”  
“Liat apa tuh?”
“enggak..aku lagi liat foto-foto lama jadi inget jaman-jaman dulu, apa kabar ya mereka sekarang?”
“oh..temen-temen kamu di Kupang ya?”
“iya neh..jadi pengen liburan kesana..kapan-kapan aku ajak kamu kesana ya..”
“boleh..lagian kamu udah lama kan gak pulang? Aku juga mau kenalan sama orang tua kamu..”
“hayooo……ada apa nih mau ketemu orang tuaku…hmmm…mau ngelamar ya?” mataku mengernyit curiga.
“ih GR..emang ketemu gak boleh?” Ekspresi jahilnya lagi-lagi membuatku gemas untuk menggelitikinya..

“Ah kamu jahaaaat…sini kamu…..!” Aku pun mulai siap-siap mengejarnya tetapi dia yang lebih tinggi dariku dengan gesitnya sudah hilang dari pandanganku dan ketika aku mulai mencarinya, tiba-tiba ia menutup mataku dengan tangannya dari belakang.
“Denisss…apaan sihh ini…..”
SSSttt……..diem dehh…” Aku merasa aku dibawa ke teras. Dan ketika aku sampai, ia membuka mataku, aku melihat banyak teman-temanku dan teman-temannya sudah berkumpul di depan membawa kertas yang bertuliskan

“Stella, Will u marry me?”

Aku tak bisa berkata-kata lagi, mataku pun mulai berkaca-kaca karena terharu.

Ia pun memberikanku bunga dan cincin sambil menunggu jawabanku.

“Jadi apa dong jawabannya?”
“Iya..aku mau…”
“So…minggu depan kita ketemu orang tuamu ya…”
Aku tak bisa menjawabnya lagi dan hanya ku jawab dengan anggukan.












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemeran Utama (8)

MENANTI -end- (Chapter 12)

Pria di Ujung Dermaga