MENANTI (Chapter 1)




Chapter 1
Bersamamu (Dulu)
“…Bila kuingat senyum manismu, takkan habis waktu melamun..”
(Bila Kuingat, Lingua)

Solo, 8  Januari 2010
Hujan lagi-lagi membasahi kota dan memberikan sedikit hawa sejuk di kota yang terkenal dengan sebutan  The Spirit Of Java ini. Hujan ini pun seakan mengingatkanku ketika pertama kali aku bertemu denganmu dan karena hujan pula kita terpisah untuk selamanya.
Sudah satu jam aku mengelilingi kota ini, dan akhirnya gereja inilah yang menjadi tempat perhentian terakhir. Gedung gereja yang seharusnya pada hari ini kita ada didalamnya mengikat janji dihadapan Tuhan dan jemaatNya  yang disaksikan  oleh keluarga, sanak saudara dan juga teman-teman kita.

Aku membayangkan dirimu berjalan anggun bersama ayahmu dari depan gereja, lalu aku menyambutmu di altar gereja. Gaun berwarna putih tulang itu sudah kau rancang dari jauh-jauh hari  tampak pas di tubuhmu,  kau pernah mengatakan padaku bahwa gaun itu sudah kau impikan sejak kau masih remaja dan tentu saja itu sebelum bertemu denganku.  

Kau juga pernah bilang, kalau kau menginginkan pernikahan dihadiri oleh keluarga, dan teman-teman terdekat kita dan tidak mau mengundang terlalu banyak orang, katamu supaya suasana pernikahan kita akan khidmat dan sakral. Dan kau tahu sayang, orang-orang yang kau inginkan untuk datang di pernikahan kita, akhirnya mereka semua datang bahkan yang tidak sempat kita undang karena kita pikir mereka tidak terlalu dekat dengan kita. Mereka datang bukan karena  menghadiri undangan pernikahan kita, bukan juga untuk berebut bunga pengantin yang kau pegang, mereka datang bukan untuk tersenyum dan tertawa bersama kita. Tetapi mereka datang untuk menangisimu sayang, membawakanmu banyak krans bunga bertuliskan bahwa mereka berduka atas kepergianmu. Mereka menghiburku bahwa aku akan baik-baik saja dan dapat melewati ini semua. 

Mereka tak tahu sayang, aku benar-benar terpukul atas kepergianmu dan aku merasa sangat bersalah terhadapmu.

Andai saja tidak ada rapat malam itu.
Andai saja aku bisa mengangkat telponmu.
Andai saja aku bisa menjemputmu.
Andai saja………

˜˜˜˜˜
“Abi?”  suara berat seorang bapak yang sudah sangat kukenali suaranya, membuyarkan lamunanku.
“oh Pak Pendeta..selamat sore pak..” Jawabku dengan senyum yang dipaksakan karena sebenarnya aku ingin menyendiri disini.
“Gimana kabarmu..Udah lama markir disini?”
“Baik-baik saja pak, saya baru sebentar koq..tadi pas kebetulan lewat sini ya udah berhenti sebentar aja dulu, rencananya mau kerumah Bapak, tapi saya lihat sepertinya dirumah tidak ada orang”
“oo iya Bapak baru abis kunjungan ke Panti Jompo sama Ibu, makanya tadi pas lihat mobilmu Bapak kesini dulu..ya wes ayo kerumah..daripada disini sendirian..”
“Ah gak usah pak, saya sudah mau pulang, bapak sepertinya sibuk..”
“Sibuk apanya, saya masih punya waktu sejam koq, sebelum anak-anak datang untuk katekisasi, ayo mampir dulu, ada sesuatu yang mau bapak kasih ke kamu dari seseorang, bapak baru ingat kemarin”

Suasana nyaman, serta hawa sejuk seakan menyambutku dan tiba-tiba saja sekeping demi sekeping kenangan menyergap pikiranku ketika menginjakkan kakiku di teras rumah Pak Herman. Ibu Rosmini istri dari Pak Herman memang suka menanam banyak tanaman di halaman rumahnya sehingga suasana teras rumah ini sangatlah nyaman dan damai.
“Bapak ambil dulu barangnya ya, kamu duduk dulu..” Lelaki tua itu pun masuk kerumahnya dan tak lama kemudian dia membawa sebuah kotak kecil yang ditutupi dengan kertas kado berwarna merah polos.
“Ini Nak..” Pak Herman menyerahkan kotak itu.
 “Makasi pak, ini dari siapa?”
Pak Herman terdiam sesaat, menatapku dengan wajah yang berbeda seperti rasa kasihan lalu ia menarik nafasnya perlahan dan menghembuskan dengan rasa yang berat. Melihat reaksinya aku pun sudah bisa menebak siapakah yang memberikan barang ini kepadaku. Dan seperti seakan dapat membaca pikiranku, pak Herman menganggukkan kepalanya.
“Barang ini sudah bapak simpan dari 2 bulan lalu, ia memberikannya ketika kalian mengikuti katekisasi pernikahan dulu, dia berpesan untuk bapak menyimpannya dan memberikan kepada kamu ketika usia pernikahan genap satu bulan, tapi …” Pak Herman pun tak sanggup meneruskan perkataannya.
“aah..sudah pak, saya ikhlas koq pak..saya tahu Tuhan lebih mencintai dia daripada saya.., saya berterima kasih bapak masih menyimpan ini dan memberikan kepada saya.., oya pak saya juga sekalian mau pamitan..”
“Lha pamitan? Kan baru sebentar..”
“Maksud saya, saya pamitan untuk pergi ke Jakarta, saya dapat tawaran untuk bekerja disana pak”
“Kamu pergi bukan untuk melupakan dia kan?”
“dia ada tetap dihati saya, saya sadar saya harus melanjutkan hidup saya, doakan saya ya pak”
“Bapak pasti doain kamu nak Abi, kapan kamu berangkat nak?”
“Saya berangkat lusa pak…, kalo gitu saya sekalian pamit pulang ya pak..”
 “ow iya..iya..jangan lupa kasih kabar ke bapak ya kalo udah sampai sana..”
“Iya pak..bapak dan ibu sudah seperti keluarga saya sendiri, jadi saya gak mungkin lupa..”
“Syukurlah kalau kamu menganggap bapak dan ibu orang tua kamu..bapak harap kamu baik-baik saja disana..”
“Tenang aja pak, ndak usah kuatir Jakarta kan gak jauh-jauh amat masih di Indonesia juga..”
“hahaha..bisa saja kamu nak…ya wes hati-hati ya..”
“Terima kasih..saya pamit pulang ya..”

˜˜˜˜






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemeran Utama (8)

MENANTI -end- (Chapter 12)

Pria di Ujung Dermaga